Kasus Tanah di Teluk Malewai Korbankan Pria Kelahiran Turki, Pembuat Surat Tanah Palsu Tak Terseret

redaksi
28 Mei 2025 18:56
DAERAH 0 224
3 menit membaca

MUARA TEWEH-Seorang pria berinisial AS dihukum penjara 10 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Muara Teweh, Selasa (27/5) atas kasus penggunaan surat tanah palsu di Teluk Malewai, Kecamatan Lahei Barat, Kabupaten Barito Utara beberapa waktu lalu.

Pria asal Turki tersebut awalnya sebagai pelapor karena tertipu oleh sejumlah pihak yang menjual tanah sekitar 4 hektare dengan surat keterangan tanah palsu.

Terhadap putusan majelis hakim yang diketuai oleh Sugiannur, kuasa hukum terdakwa dalam hal ini menilai kasus yang menyeret kliennya AS merupakan sesat fakta dan bagian dari kriminalisasi hukum.

“Kalau kita lihat kasus ini secara terang benderang dengan logika yang murni bahwa kasus ini sebenarnya sesat fakta dan ada kesan klien kami dikriminalisasi,” ujar Kuasa Hukum AS Fahmi Indah Lestari, SH. MH dan Nashir Hayatul Islam saat ditemui Tabengan di Pengadilan Negeri Muara Teweh usai sidang.

Menurut Fahmi kasus yang menjerat kliennya tersebut tidak berdiri sendiri. Hal ini karena sebagai pengguna surat tanah palsu tentu ada yang memalsukannya. Dan mereka mereka yang memalsukan tidak terseret dan dibebaskan setelah adanya proses restorative justice.

“Kasus ini tidak berdiri sendiri. Klien kami hanya sebagai pengguna. Dia membeli tanah tersebut tetapi dia tidak tahu bahwa surat tersebut asli atau palsu. Pertanyaannya mereka yang memalsukan surat tersebut kok hanya dijadikan sebagai saksi,” ujarnya.

“Soal adanya restorative justice seharusnya semua pihak dihadirkan. Bukannya hanya pihak tertentu saja. Dan Rj itu bukan berarti seseorang terlepas dari hukuman pidana,” tambah Fahmi.

Selain itu, pengacara muda asal Puruk Cahu itu menilai bahwa adanya pencabutan surat tanah palsu oleh pihak terlapor sebenarnya cacat hukum karena tidak melalui hukum administratif dalam proses pencabutannya.

“SKT yang dicabut atau dibatalkan tidak melalui tahapan administrasi yaitu putusan peradilan tata usaha negara yang menyatakan bahwa surat tersebut batal batal dikarenakan ada dugaan pemalsuan. Seharusnya prosesnya seperti itu. Nah ini yang menjadi menjadi salah satu ganjalan dan keberatan kita serta menilai hal ini cacat hukum,” ujarnya.

Senada dengan Fahmi, Nashir pada tempat yang sama menilai bahwa Restorative Justice oleh Polda Kalteng agak membingungkan. Hal ini karena klien kami yang awalnya sebagai pelapor dan dirugikan dalam kasus ini dijadikan sebagai tersangka.

“Klien kami melaporkan karena ada pihak tertentu yang menjual tanah dengan surat palsu. Dan dia sebagai korbannya karena membeli surat itu. Kok sebagai pelapor jadi tersangka yang dikenakan pasal 263 ayat 2 karena penggunaan surat palsu,” ujarnya Nashir bingung.

“Lebih bingung lagi, mereka yang membuat dan menyerahkan surat tanah palsu dibebaskan setelah jadi tersangka dengan pendekatan Restorative Justice yang tanpa menghadirkan pelapor,” tambahnya.

Saat ditanya, apakah kliennya AS akan melakukan banding, Nashir mengatakan pihaknya masih pikir-pikir.

“Ada waktu 7 hari untuk kita pikir-pikir. Apakah nanti banding atau terima ya nanti kita akan sampaikan,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui bahwa kasus ini bermula dari adanya pembelian tanah oleh terdakwa AS yang dijual oleh sejumlah orang di Desa Teluk Melawai, Lahei Barat, Barito Utara. Dalam pembelian tanah tersebut, AS ditipu karena para penjual ternyata menggunakan surat tanah palsu. (Tim)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page