filter: 0; fileterIntensity: 0.0; filterMask: 0; brp_mask:0;
brp_del_th:null;
brp_del_sen:null;
delta:null;
module: photo;hw-remosaic: false;touch: (-1.0, -1.0);sceneMode: 8;cct_value: 0;AI_Scene: (-1, -1);aec_lux: 0.0;aec_lux_index: 0;albedo: ;confidence: ;motionLevel: -1;weatherinfo: null;temperature: 34;MUARA TEWEH – Kuasa hukum empat warga terdakwa dalam kasus sengketa lahan dengan PT SAM Mining menggugat keras dakwaan pidana yang diajukan jaksa. Mereka menilai penanganan kasus yang berujung pada penahanan kliennya sebagai bentuk kriminalisasi atas persoalan perdata murni.
Perkara ini berawal dari aksi pemortalan lahan sengketa oleh warga Desa Muara Pari, Kecamatan Lahei, pada 10 Juli 2025. Aksi tersebut dilakukan menyusul ketidakhadiran PT SAM Mining dalam mediasi yang dijadwalkan Polres Barito Utara dua hari sebelumnya.
Akibatnya, empat warga, Ahmad Yudan Baya, Muliadi, Jalemo, dan Dinsupendi, kini berstatus terdakwa dengan dakwaan perusakan dan penghambatan kegiatan usaha.
Kuasa hukum Yudhan Baya dan kawan-kawan, Yohanes Li, secara tegas menyatakan keberatan serta menilai kasus hukum yang menimpa kliennya terkesan dikriminalisasi.
“Klien kami merasa dikriminalisasi. Ini seharusnya diselesaikan secara perdata di Pengadilan Tata Usaha Negara atau lewat mediasi, bukan pidana,” tegas Yohanes usai persidangan di Pengadilan Negeri Muara Teweh, Selasa (11/11).
“Kenapa harus perdata dulu ya agar kita semua tahu persis tanah yang dipersoalkan itu milik siapa. Ini tiba-tiba kok langsung pidana. Ada apa ini,” tambahnya.
Selain itu, Yohanes juga mempersoalkan tentang kasus hukum yang hanya menyeret 4 orang kliennya, pada hal di lapangan ada puluhan orang masyarakat yang melakukan demonstrasi dan juga diduga menduduki kawasan hutan.
“Kenapa hanya empat orang? Padahal saat demonstrasi ada puluhan orang, 30 lebih. Ini ada apa? Mediasi pernah dilakukan dan justru pihak perusahaan tidak hadir, kenapa kini malah ditahan? Dakwaan ini semestinya tidak dapat diterima,” tegas Yohanes.
Pembelaan serupa disampaikan kuasa hukum lainnya, Aryo Pujiarto. Ia menegaskan aksi warga adalah bentuk mempertahankan hak yang diyakini turun-temurun.
“Mereka mempertahankan hak, tapi kok prosesnya pidana? Seharusnya, status kepemilikan tanah harus diselesaikan dulu. Ini ranah perdata, bukan pidana,” jelas Ariyo.
Sementara itu, pihak perusahaan sebagaimana dalam dakwaan yang diperoleh media ini menegaskan telah memiliki izin lengkap, termasuk Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dari Menteri LHK. Pemblokiran jalan hauling oleh warga disebut menyebabkan kerugian miliaran rupiah.
Persidangan untuk mendengarkan eksepsi atau nota keberatan dari kuasa hukum terhadap dakwaan jaksa akan dilanjutkan pada Selasa, 18 November 2025. Pertarungan hukum ini akan menguji apakah sengketa agraria akan kembali diselesaikan dimeja perdata atau tetap diranah pidana. (Old)
Tidak ada komentar